Sains Dalam Islam


Islam dan Aktvitas Ilmiah

Sejak dulu aktivitas ilmiah sudah ada dalam dunia Islam. Contoh kegiatan ilmiah yang berhubungan dengan wahyu adalah ilmu tafsir. Penafsiran Al-Qur’an merupakan  salah satu aktvitas intelektual utama Umat Islam sejak awal.

Dalam telaah Al-Qur’an sendiri banyak ilmu yang dilahirkan. Ketika membahas lafal-lafal Al-Qur’an dan cara membacanya lahirlah ilmu tajwid dan ilmu qiraa’ah. Ketika membahas makna-makna ayat al-Qur’am muncul masalah penafisran dan pemahaman, dan lahirlah ilmu tafsir, asbaab al-nuzul, tanzii, ta’wiil, muhkaam dan mutasyaabihaat, naasikh-mansukh. Ketika membaca ayat-ayat hukum perlu pula ilmu fiqh, ushuul al-fiqh, dan juga ilmu-ilmu hadits sebagai penjelas dan penafsir ayat.[1]

Tidak diragukan lagi teradisi keilmuan di dalam Islam, sudah dibangun sejak dulu. Banyak fakta yang menunjukan tentang hal ini, seperti jejak para ilmuan muslim. Siapakah yang tidak kenal Ibnu Sina, dia adalah seorang Filosof yang ahli dalam bidang kedokteran, melahirkan sebuah karya yang sangat fenomenal hingga saat ini menjadi rujukan para ilmuan, yaitu Qanun Fi Thib. Ilmuan lainnya, Al-Khawarizmi, dia adalah seorang ilmuan muslim ahli di bidang matematika, ia telah menemukan teori al-Jabar. Teori ini tentunya tidak asing di telinga kita, mungkin yang asing hanyalah penemunya saja. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan di sini. Untuk lebih jelasnya, kita bisa merujuk pada buku-buku yang membahas secara spesifik tentang para ilmuan di dalam Islam.

Bukti lain, di zaman pemerintahan Bani Abbasyiah yang di kala itu berpusat di Bagdad. Bagdad pernah mendapat julukan kota 1001 malam, karena keindahan dan perdaban islam yang begitu maju saat itu. Sehingga banyak dilirik oleh bangsa-bangsa lain dan mempelajari sebab kemajuan mereka apa.

Sains Dalam Perspektif Islam

Pada awalnya, tidak ada pemisahan antara filsafat dengan sains. Dimana sains merupakan satu kesatuan dengan filsafat. Adapun pemisahan terjadi Pasca Renaisan, revolusi besar-besaran yang dilakukan oleh dunia bagian Barat. Tidak hanya dalam bidang keilmuan, namun pada bidang agama. Agama mengurus masalah ketuhanan dan sains berbicara masalah ilmu yang sifatnya metafisik. Di saat inilah, sains diberikan pembatasan. Objek sains hanyalah yang sifatnya fisik (indrawi) saja. Sains yang dimaksudkan apabilah dapat diobservasi oleh indra manusia. Jika tidak bisa diobservasi, maka bukan sains menurut mereka. Oleh karena itu, para saistis Barat tidak membahas tentang metafisik. Dan hanya menggunakan dua metode ilmiah, yaitu induktif dan deduktif.[2]

Di dalam Islam berbeda dengan hal tersebut di atas, tidak ada pembahasan tentang manakah yang ternasuk sains dan bukan sains.[3] Karena objek ilmu pengetahuan yang dibahas di dalam Islam, tidak hanya berbicara pada masalah yang sifatnya indrawi, akan tetapi yang metafisik juga dibahas. Maka dari itu di dalam Islam melahirkan dua ilmu, yaitu Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli.

Perbedaan yang mendasar antara sains Islam dengan sains Barat adalah pada metodologi dan objek pembahasan. Islam menyesuaikan objek pembahasaannya dengan metodologi yang akan digunakan. Islam tidak menggunkan metolodogi untuk idrawi (empiris), ketika berbicara masalah yang sifatnya metafisik.

Islam tidak serta merta langsung menolak bahwa ini bukan sains dan memutuskan ini adalah sains. Akan tetapi terlebih dulu melihat kesesuain antara objek dengan metologi yang digunakan.[4]


[1]Dikutip di sebuah makalah “Al-Qur’an dan Aktvitas Ilmia”. Pada tanggal 23 Mei 2013. Blog:harkaman01@wordpress.com

[2]Ahyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Depok, Penerbit Koekoesan: Ce.t ke-1, 2011). Hal. 35

[3]Pembahasan ini lebih dikenal dengan istilah “problem demarcation of science”. Teori yang memberikan klarifikasi terhadap sains.

[4]Dikutip dari Panel Discussion of STFI Sadra “Science and Divinity”. Pada tanggal 29 Mei 2013.


Leave a Reply